BERSANDAR KEPADA ALLAH DI SETIAP WAKTU
Oleh: Abu ‘Ashim Muhtar Arifin bin Marquzi, Lc.
Menyandarkan hati kepada Allah -subhanahu
wa ta’ala- adalah termasuk ibadah yang sangat diperintahkan dalam
Islam. Hal itu karena seorang hamba selalu memerlukan Rabb-nya dalam
setiap keadaan.
Allah -Subhanahu wata’ala- sendiri telah
menyifati diri-Nya dengan Dzat yang menjadi tempat bergantungnya segala
sesuatu, sebagaimana firman-Nya:
الله الصمد
Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (QS. al-Ikhlâsh: 2)
Ibrahim berkata: ”ash-Shamad artinya Dzat
yang menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam
kebutuhan-kebutuhannya”. (ad-Durr al-Mantsūr, jilid 15, hlm. 782)
Bergantung kepada Allah setiap saat.
Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam-
telah mengajarkan umatnya beberapa doa yang khusus untuk dibaca setiap
pagi dan sore hari atau yang lebih dikenal dengan adzkâr ash-Shabâh wa
al-Masâ` (dzikir pagi dan petang). Di dalamnya banyak berisi permohonan
kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-, antara lain doa agar diberikan
perlindungan dan keselamatan pada hari atau malam itu.
Salah satu doa Rasulullah -shollallohu
alaihi wa sallam- tersebut adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits
Anas -radhiallohu anhu- berikut, ia berkata: Rasulullah -shollallohu
alaihi wa sallam- berkata kepada Fatimah -radhiallohu anha-
مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِيْ مَا أُوْصِيْكِ بِهِ ؟ أَنْ تَقُوْلِيْ إِذَا أَصْبَحْتِ وَإِذَا أَمْسَيْتِ
Apa yang menghalangimu dari mendengarkan
wasiatku kepadamu ? Hendaklah engkau membaca (doa ini) apabila berada di
waktu pagi hari dan sore hari:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا
Wahai Dzat Yang Maha Hidup Kekal, Wahai
Dzat Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku
memohon pertolongan, perbaikilah semua urusanku dan janganlah Engkau
serahkan aku kepada diriku walaupun hanya sekejap mata”. (Hadits ini
dikeluarkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 48 dan
dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah, jilid 1, hlm. 449, no.
227)
Hal itu menunjukkan bahwa seorang hamba harus senantiasa merasa bergantung kepada Allah dalam setiap keadaan.
Hal itu menunjukkan bahwa seorang hamba harus senantiasa merasa bergantung kepada Allah dalam setiap keadaan.
Kembali kepada Allah meskipun dalam permasalahan yang terlihat sepele.
Dalam permasalahan yang terlihat sepele
dan ringan saja, seorang muslim dianjurkan dan diperintahkan agar berdoa
kepada Allah. Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- bersabda:
لِيَسْتَرْجِعْ أَحَدُكُمْ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ، حَتىَّ فِيْ شِسْعِ نَعْلِهِ، فَإِنَّهَا مِنَ الْمَصَائِبِ
Hendaklah seorang dari kalian mengucapkan
istirjâ’ (Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ūn: sesungguhnya kita adalah
milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya semata kita akan kembali)
meskipun dalam hal tali sandalnya, karena hal itu adalah termasuk
musibah. (Hadits hasan, al-Kalim ath-Thayyib, dengan takhrîj al-Albani,
hlm. 81, no.140)
Contoh Sikap Bergantungnya orang Shalih kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-.
Apabila kita buka lembaran sirah para
ulama, maka akan didapati banyak sekali praktek mereka dalam menjalankan
ibadah yang sangat agung ini, yaitu bersandar kepada Allah dalam segala
hal, setiap waktu dan semua permasalahan.
Berikut ini adalah beberapa contoh praktek mereka dalam bersandar kepada Allah.
Berikut ini adalah beberapa contoh praktek mereka dalam bersandar kepada Allah.
1. Abu Hanifah.
Apabila beliau mendapatkan kesulitan, beliau beristighfar kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:
Apabila beliau mendapatkan kesulitan, beliau beristighfar kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Abu Ja’far al-Balkhi, salah seorang
ahli fiqih, ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwasanya Abu Hanifah
-semoga Allah merahmatinya- dahulu apabila mendapatkan kesulitan dalam
suatu permasalahan atau mendapatkan syubhat di dalamnya beliau berkata
kepada para sahabatnya: “Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang
telah aku perbuat”, lalu beliau beristighfar dan kadang-kadang beliau
berwudlu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka
terselesaikanlah masalahnya, lalu beliau berkata: “Aku optimis, karena
aku berharap bahwasanya aku telah diampuni oleh Allah sehingga aku dapat
menyelesaikan masalah tersebut”.
Ketika berita ini sampai kepada Fudhail
Bin ‘Iyadh, ia menangis sejadi-jadinya lalu berkata: “Semoga Allah
merahmati Abu Hanifah, hal itu dapat terjadi karena sedikitnya dosa yang
ia miliki, sedangkan selain beliau, mereka tidak memperhatikannya,
karena dosanya telah menenggelamkan dirinya”. (‘Uqūd al-Jumân fî Manâqib
al-Imâm al-A’zham Abu Hanîfah an-Nu’mân, karya Imam Muhammad bin Yusuf
ad-Dimasyqi asy-Syafi’i (wafat 942), hlm. 228-229)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Apabila beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur`an, beliau memohon kepada Allah seraya membaca:
Apabila beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur`an, beliau memohon kepada Allah seraya membaca:
الَلَّهُمَّ يَا مُعَلِّمَ آدَمَ وَإِبْرَاهِيْمَ، عَلِّمْنِيْ، وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِيْ
Wahai Dzat yang mengajari Adam dan
Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada
Sulaiman, jadikanlah aku paham.
Setelah membaca doa ini, Allah pun
mengabulkan permintaannya. (al-Majmū’ah al-’llmiyyah, hlm. 181, karya
Syaikh Bakr, jauh sebelumnya ungkapan ini sudah dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim dalam I’lâm al-Muwaqqi’în, jilid 4, hlm. 257 dengan lafal yang
lebih pendek)
3. Abu Ishaq p-Syirazi.
Imam an-Nawawi -rahimahullah- menjelaskan tentang keadaannya, bahwasanya dirinya tidak mengatakan tentang suatu masalah pun melainkan mendahuluinya dengan beristi’ânah (memohon pertolongan) kepada Allah. Selain itu juga, tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan mendahuluinya dengan shalat beberapa rakaat. (Muqaddimah al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 15)
Imam an-Nawawi -rahimahullah- menjelaskan tentang keadaannya, bahwasanya dirinya tidak mengatakan tentang suatu masalah pun melainkan mendahuluinya dengan beristi’ânah (memohon pertolongan) kepada Allah. Selain itu juga, tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan mendahuluinya dengan shalat beberapa rakaat. (Muqaddimah al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 15)
4. Urwah Bin Zubair.
Beliau mengatakan:
Beliau mengatakan:
إِنِّيْ لأَدْعُوْ اللَّهَ فِيْ حَوَائِجِيْ كُلِّهَا، حَتَى بِالْمِلْحِ
Sesungguhnya aku benar-benar berdoa
kepada Allah dalam segala keperluanku sampai (dalam hal) garam.
(al-Fawâkih ad- Dawâni Syarh Risâlah Ibn Zaid al-Qirwâni, karya Ahmad
bin Ghunaim al-Maliki, jilid 1, hlm. 211)
5. Sa’id bin al-Musayyib.
Hampir-hampir Sa’id Bin al-Musayyab tidak berfatwa dengan suatu fatwa atau melontarkan suatu ucapan melainkan mengatakan:
Hampir-hampir Sa’id Bin al-Musayyab tidak berfatwa dengan suatu fatwa atau melontarkan suatu ucapan melainkan mengatakan:
الَلَّهُمَّ سَلِّمْنِيْ وَسَلِّمْهُ مِنِّيْ
Ya Allah, selamatkanlah aku dan
selamatkanlah ia dariku. (al-Madkhal ilâ as-Sunnan al-Kubrâ, karya
al-Baihaqi, no. 824, hlm. 439-440)
Bergantung kepada selain Allah termasuk perusak hati.
Sesungguhnya hati manusia dapat menjadi
rusak disebabkan oleh beberapa perusak, di antaranya adalah
bergantungnya seseorang kepada selain Allah.
Ketika Ibnul Qayyim t menjelaskan tentang
perusak-perusak hati dalam Madârij as-Sâlikîn, beliau menerangkan bahwa
bergantung kepada selain Allah -subhanahu wa ta’ala- termasuk perusak
yang paling besar terhadap hati secara mutlak, karena tidak ada yang
lebih berbahaya dan lebih dapat memutuskan hati dari kebaikan dan
kebahagiaanya dari pada bergantung kepada selain Allah tersebut. Selain
itu, apabila seseorang bergantung kepada selain Allah -subhanahu wa
ta’ala-, maka ia akan diserahkan kepada objek yang menjadi tempat
bergantungnya tersebut. (Madârij as-Sâlikîn, jilid 1, hlm. 492)
Orang yang bergantung kepada selain Allah
telah merugi dengan kerugian yang besar karena telah bergantung kepada
sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan madharat.
Ibnul Qayyim telah membuat perumpamaan
berikut: “Perumpamaan orang yang bergantung kepada selain Allah itu
laksana orang yang berteduh dari dingin dan panas dengan sarang
laba-laba, yang merupakan selemah-lemahnya rumah” (Madârij as-Sâlikîn,
jilid 1, hlm. 492)
Setelah mengetahui bagaimana pentingnya
kembali, bergantung dan bersandar kepada Allah dalam segala urusan, maka
kita akan mengetahui pentingnya melakukan shalat istikhârah dan membaca
do’anya sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah n. Bahkan al-Imam
al-Qurthubi mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan: “Tidak sepantasnya
bagi seseorang untuk maju dan memilih suatu perkara duniawi sampai ia
meminta kepada Allah pilihan dalam hal itu dengan shalat istikhârah
sebanyak dua rakaat “. (al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jilid 18, hlm. 306)
Semoga Allah memberi bimbingan kepada kita untuk dapat selalu bergantung kepada-Nya dan melindungi hati-hati kita dari sikap ketergantungan kepada selain-Nya.
Semoga Allah memberi bimbingan kepada kita untuk dapat selalu bergantung kepada-Nya dan melindungi hati-hati kita dari sikap ketergantungan kepada selain-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar